Ayat 163 hingga 166 beserta terjemahannya.
وَسَۡٔلۡهُمۡ عَنِ ٱلۡقَرۡيَةِ ٱلَّتِي كَانَتۡ حَاضِرَةَ ٱلۡبَحۡرِ إِذۡ يَعۡدُونَ فِي ٱلسَّبۡتِ إِذۡ تَأۡتِيهِمۡ حِيتَانُهُمۡ يَوۡمَ سَبۡتِهِمۡ شُرَّعٗا وَيَوۡمَ لَا يَسۡبِتُونَ لَا تَأۡتِيهِمۡۚ كَذَٰلِكَ نَبۡلُوهُم بِمَا كَانُواْ يَفۡسُقُونَ
Dan bertanyalah kepada mereka (wahai Muhammad) mengenai (penduduk) bandar yang letaknya di tepi laut, semasa mereka melanggar larangan pada hari Sabtu, ketika datang kepada mereka pada hari Sabtu itu ikan-ikan (yang menjadi cubaan kepada) mereka, yang kelihatan timbul di muka air; sedang pada hari-hari lain, ikan-ikan itu tidak pula datang kepada mereka. Demikianlah kami menguji mereka (dengan cubaan itu) kerana mereka sentiasa berlaku fasik. (Al-A’raaf (7) : 163).
وَإِذۡ قَالَتۡ أُمَّةٞ مِّنۡهُمۡ لِمَ تَعِظُونَ قَوۡمًا ٱللَّهُ مُهۡلِكُهُمۡ أَوۡ مُعَذِّبُهُمۡ عَذَابٗا شَدِيدٗاۖ قَالُواْ مَعۡذِرَةً إِلَىٰ رَبِّكُمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَّقُونَ
Dan (ingatlah) ketika segolongan di antara mereka berkata: “Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazabkan mereka dengan azab yang amat berat?” Orang-orang (yang memberi nasihat) itu menjawab: “(Nasihat itu ialah) untuk melepaskan diri dari bersalah kepada Tuhan kamu, dan supaya mereka bertaqwa”. (Al-A’raaf (7) : 164).
فَلَمَّا نَسُواْ مَا ذُكِّرُواْ بِهِۦٓ أَنجَيۡنَا ٱلَّذِينَ يَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلسُّوٓءِ وَأَخَذۡنَا ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ بِعَذَابِۢ بَِٔيسِۢ بِمَا كَانُواْ يَفۡسُقُونَ
Maka ketika mereka melupakan (tidak menghiraukan) apa yang telah diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang daripada perbuatan jahat itu, dan Kami timpakan orang-orang yang zalim dengan azab seksa yang amat berat, disebabkan mereka berlaku fasik (derhaka). (Al-A’raaf (7) : 165).
فَلَمَّا عَتَوۡاْ عَن مَّا نُهُواْ عَنۡهُ قُلۡنَا لَهُمۡ كُونُواْ قِرَدَةً خَٰسِِٔينَ
Maka setelah mereka berlaku sombong takbur (tidak mengambil indah) kepada apa yang telah dilarang mereka melakukannya, Kami katakan kepada mereka: “Jadilah kamu kera yang hina”. (Al-A’raaf (7) : 166).
Nota:
Terjemahan di atas diambil daripada, https://www.surah.my/.
Tafsiran yang disampaikan oleh Dr. Abdul Halim El-Muhammady pada 13-3-2023 (Isnin) dan 14-03-2023 (Selasa).
Mukkadimah.
Pada pagi 13 Mac 2023 (Isnin), Ustaz mentadabbur ayat-ayat 163 dan 164, pada 14 Mac 2023 (Selasa), Ustaz mentadabbur ayat-ayat 165 dan 166 dari Surah Al-A’raaf yang bertajuk, “Akal licik Yahudi untuk menangkap ikan pada hari Sabtu dan siksaan bagi para penentang.”
Ayat-ayat di atas menyebutkan bentuk lain dari berbagai penyimpangan dan pembangkangan yang dilakukan oleh kaum Yahudi. Setelah ayat-ayat sebelumnya menyebutkan kisah mereka masuk ke sebuah negeri, di sini disebutkan kisah akal licik mereka untuk dapat menangkap ikan dengan mudah pada hari Sabtu.
Kisah ini sudah disebutkan dalam surah al-Baqarah secara global melalui firman Allah SWT,
“Dan sungguh, kamu telah mengetahui orang-orang yang melakukan pelanggaran di antara kamu pada hari Sabtu.” (al-Baqarah: 65).
Kisah ini juga disinggung dalam surah an-Nisaa’dalam dua ayat 47 dan 154.
Dalam surah al-A’raaf-yang turun di Mekah-juga telah disebutkan kisah tersebut sebelum Nabi saw. berjumpa dengan seorang pun dari kalangan Yahudi untuk menunjukkan kemukjizatan Al-Qur’an. Karena Nabi saw. adalah seorang yang ummiy, tidak pernah belajar dan tidak pernah membaca satu kitab pun, jadi ketika Nabi menyampaikan kisah tersebut, hal ini adalah sebuah mukjizat dan bukti bahwa penyampaian itu datang melalui informasi dan firman langsung dari Allah SWT.
Faedah lain dari penyampaian kisah ini yaitu untuk mengingatkan bahwa kekafiran terhadap Muhammad saw. dan segala mukjizat yang dibawanya bukanlah sesuatu yang baru di masa ini. Akan tetapi, berbagai kekafiran dan kebangkangan sudah terjadi sejak nenek moyang mereka pada masa dahulu.
Peristiwa Hari Sabtu bagi Kaum Yahudi.
Dikisahkan bahwa kaum Yahudi sebenarnya diperintahkan (untuk khusus beribadah) pada hari Jum’at, namun mereka meninggalkan hari itu dan lebih memilih hari Sabtu. Akhirnya, mereka diuji dengan hari Sabtu. Ujian tersebut berupa larangan untuk menangkap ikan dan diperintahkan untuk mengagungkan pada hari tersebut. Ternyata ikan-ikan banyak bermunculan di hari Sabtu. Ikan-ikan tersebut tampak bersih-bersih dan gemuk-gemuk seperti ikan yang sedang hamil. Permukaan air sampai tidak kelihatan karena banyaknya ikan yang mengapung.
Pada hari selain Sabtu, ikan-ikan tidak bermunculan. Kondisi tersebut terjadi selama beberapa masa. Lalu Iblis pun datang menggoda mereka. Ia berkata kepada mereka, “Kalian hanya dilarang untuk menangkapnya di hari Sabtu. Kalian bisa membuat kolam-kolam untuk menggiring ikan-ikan itu masuk ke dalam kolam-kolam tersebut di hari Sabtu, sehingga ikan-ikan itu tidak dapat keluar, Lalu kalian bisa mengambilnya di hari Ahad.”
Salah seorang dari mereka mengambil seekor ikan. Lalu ekor ikan itu ia ikatkan dengan sebuah tali pada sebatang kayu di pinggir laut. Pada hari Ahad ia membakar ikan tersebut. Tetangganya mencium bau ikan panggang, lalu ia melihat ke dalam kuali. Tetangganya berkata padanya, “Aku yakin Allah akan menyiksamu.”
Ketika ia tidak melihat ada adzab yang turun, hari Sabtu berikutnya ia gunakan dua ekor ikan. Ketika banyak dari mereka tidak melihat ada adzab yang datang, mereka pun mulai menangkap, mengasinkan ikan, dan menjualnya. Jumlah mereka ada sekitar tujuh puluh ribu orang. Akhirnya, masyarakat di daerah tersebut terbagi menjadi tiga: sepertiga melarang hal tersebut, mereka berjumlah sekitar dua belas ribu orang. Sepertiga lagi berkata, “Untuk apa kalian menegur mereka?”. Sepertiga terakhir; mereka yang berbuat kesalahan.
Ketika mereka tidak juga berhenti dari perbuatan tersebut, orang-orang yang Muslim di antara mereka berkata, “Kami tidak mau lagi tinggal berdekatan dengan kalian.” Lalu mereka membagi dan memisahkan kampung itu dengan tembok. Untuk pemukiman kaum Muslim ada pintunya dan untuk pemukiman orang-orang yang melanggar itu ada juga pintunya. Mereka yang terakhir ini dikutuk oleh Nabi Dawud a.s..
Pada suatu hari, orang-orang yang melarang perbuatan tersebut duduk-duduk di rumah mereka. Tapi tak seorang pun dari orang-orang yang melanggar menampakkan diri. Mereka berkata, “Pasti ada sesuatu dengan mereka.” Mereka pun pergi melihat ke daerah orang-orang yang melanggar itu. Ternyata, orang-orang yang melanggar tersebut sudah berubah menjadi kera.
Mereka (orang-orang yang melarang) membuka pintu daerah orang-orang yang melanggar itu dan masuk ke dalamnya. Orang-orang yang telah berubah menjadi kera itu mengenali kerabat mereka dari kalangan manusia (orang-orang yang melarang). Akan tetapi yang manusia tidak mengenali karib kerabat mereka yang telah berubah menjadi kera. Kemudian, kera-kera itu mendekat ke karib kerabat mereka masing-masing dan mencium pakaiannya sambil menangis. Kerabat yang didekatinya itu berkata, “Bukankah kami telah melarang engkau?” Ia menganggukan kepalanya. Ada juga yang mengatakan bahwa kaum mudanya berubah menjadi kera sementara kaum tuanya berubah menjadi babi.
Hasan al-Bashri berkata, “Mereka memakan makanan yang paling buruk yang dimakan oleh manusia, yang paling hina di dunia, dan yang paling lama adzabnya di akhirat nanti. Oh, demi Allah, ikan yang diambil oleh kaum itu Ialu dimakannya tidak lebih besar dosanya di sisi Allah daripada membunuh seorang Muslim. Akan tetapi, Allah telah menjadikan segala sesuatu ada ketentuannya. Dan hari Kiamat lebih dahsyat dan lebih hebat.”
Cerakinan Ayat.
Qiraa’aat.
(وَسَۡٔلۡهُمۡ): Imam Ibnu Katsir, al-Kisa’i, dan Hamzah dalam kondisi waqaf membacanya dengan (وَسَلْهُمۡ).
(مَعۡذِرَةً): Ini adalah qira’aat Hafsh. Sementara imam-imam yang lain membacanya dengan (مَعۡذِرَةٌ).
(بَِٔيسِۢ): Imam Nafi’ membacanya dengan (بِيس), Imam lbnu Amir membacanya dengan (بِئْس) sementara imam-imam yang lain membacanya dengan (بَِٔيسِۢ).
I’raab.
(إِذۡ يَعۡدُونَ) Lafal (إِذۡ) berhubungan dengan kalimat “tanyakanlah”, taqdiir-nya adalah “tanyakan kepada mereka tentang waktu ketika mereka berpaling pada hari Sabtu.” Posisi Lafal (إِذۡ) adalah majrur karena ia badal dari kata (القَرْيَة) ”kampung”. (إِذۡ تَأۡتِيهِمۡ) Lafal (إِذۡ) adalah badal dari (إِذۡ) yang pertama. Ia boleh juga di-nashab-kan dengan lafal (إِذۡ يَعۡدُونَ). (شُرَّعٗا) Lafal ini dalam posisi manshuub sebagai haal dari lafal (حِيتَانُهُمۡ), sementara yang menjadi ‘amil (faktor yang membuatnya menjadi haal) adalah kalimat (تَأۡتِيهِمۡۚ). (مَعۡذِرَةً) Lafal ini sebagai maf’ul li ajlih, seolah-olah mereka berkata, “Untuk apa kalian beri mereka peringatan?” Mereka menjawab, “Agar kami mempunyai alasan di hadapan Tuhan.” Lafal (مَعۡذِرَةً) ada yang membacanya dengan rafa’ atas dasar ia sebagai khabar dari mubtada’ yang mahdzuuf, taqdiir-nya adalah “Peringatan kami adalah untuk alasan kepada Allah SWT”. (بِعَذَابِۢ بَِٔيسِۢ) Lafal (بَِٔيسِۢ) wazannya adalah (فَعِيل). Ia adalah bentuk mashdar dari lafal (بيس), taqdiir-nya adalah “Dengan adzab yang memiliki kepedihan atau kekerasani’ lalu dihilangkan mudhaf-nya dan ditempatkan mudhaf ilaih di posisinya.
Mufradaat Lughawiyyah.
(وَسَۡٔلۡهُمۡ) wahai Muhammad tanyakanlah (تَوْبِيْخًا) pada mereka apa yang terjadi pada penduduk sebuah negeri. Pertanyaan ini bertujuan untuk menghinakan mereka (orang-orang kafir). (عَنِ ٱلۡقَرۡيَةِ) negeri yang dimaksud bernama Aylah. Teluk Aylah terkenal sampai hari ini. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Madyan dan ada yang mengatakan Thabariyyah. Yang dimaksud dengan negeri tentu saja penduduk negeri tersebut. Orang Arab biasa menyebut kota dengan negeri atau kampung. Abu Amr bin al-Ala berkata, “Saya tidak pernah melihat orang kampung yang lebih fasih daripada Hasan dan Hajjaj.” Yang ia maksudkan adalah dua orang laki-laki dari penduduk kota. (حَاضِرَةَ الْبَحْرِ) yang dekat dengan Laut Merah (laut Qulzum), tepatnya di pinggir Laut Merah tersebut, iaitu negeri Aylah.
(إِذۡ يَعۡدُونَ فِي ٱلسَّبۡتِ) mereka melanggar peraturan Allah iaitu larangan bagi mereka untuk memancing pada hari Sabtu. (ٱلسَّبۡتِ) lafal ini berbentuk mashdar dari (سَبَتَتِ الْيَهُود) maksudnya, orang-orang Yahudi mengagungkan hari Sabtu dengan tidak memancing, berburu, dan melakukan aktivitas-aktivitas lainnya, dan mereka menyibukkan diri dengan beribadah. fadi, pengertian secara umumnya adalah mereka melanggar aturan untuk mengagungkan hari Sabtu. Demikian juga dengan firman Allah, (يَوْمَ سَبْتِهِمْ) maknanya adalah pengagungan mereka terhadap hari Sabtu.
(حِيتَانُهُمۡ) ikan-ikan mereka. Orang Arab sering menggunakan lafal (الحُوت) dengan pengertian ikan (arti sebenarnya adalah ikan paus, pent.) (شُرَّعٗا) tampak banyak di permukaan air. (وَيَوۡمَ لَا يَسۡبِتُونَ) hari ketika mereka tidak memuliakan hari Sabtu, maksudnya hari-hari lain selain Sabtu. (لَا تَأۡتِيهِمۡۚ) ini sebagai ujian dan cobaan dari Allah SWT. (كَذَٰلِكَ نَبۡلُوهُم) dengan cobaan yang berat itu Kami uji mereka disebabkan kefasiqan mereka. Arti dari (نَبۡلُوهُم) adalah Kami uji mereka. Ketika mereka mencoba menangkap ikan pada hari Sabtu dengan cara membuat perangkap-perangkap di hari Jum’at, masyarakat kampung itu terbagi menjadi tiga kelompok; ada yang menangkap bersama mereka, ada yang melarang mereka, dan ada yang tidak mau menangkap tapi juga tidak mau melarang.
(وَإِذۡ قَالَتۡ أُمَّةٞ) Kalimat ini di-athaf-kan kepada lafal (إِذۡ) yang sebelumnya. Satu umat di sini maksudnya adalah sekelompok dari mereka yang tidak ikut menangkap ikan namun tidak juga melarang sebagaimana orang-orang lain yang melarang. (قَالُواْ مَعۡذِرَةً) peringatan kami ini adalah sebagai alasan yang akan kami sampaikan kepada Allah SWT agar kami tidak dianggap lalai ketika tidak ikut melarang. Dalam kata lain untuk memberikan alasan bagi diri kami di sisi Tuhan kami supaya kami bisa lepas dari dosa. (وَلَعَلَّهُمۡ يَتَّقُونَ) untuk tidak jadi menangkap ikan. (فَلَمَّا نَسُواْ) mereka meninggalkan apa yang ditinggalkan manusia dan mereka berpaling sama sekali dan tidak mau rujuk dari penentangan yang telah mereka lakukan. (ٱلسُّوٓءِ) amalan yang buruk akibatnya.
(بَِٔيسِۢ) yang keras, lafal ini terambil dari kata-kata (البَأْس) diambil dari kata (البُؤْس) yang berarti sesuatu yang tidak disukai. (يَفۡسُقُونَ) keluar dari ketaatan kepada Allah SWT. (عَتَوۡاْ) mereka sombong dan enggan meninggalkan apa yang telah dilarang untuk mereka. (خَٰسِِٔينَ) hina. Sementara kelompok yang hanya diam saja, Ibnu Abbas mengatakan, “Saya tidak tahu apa yang dilakukan terhadap kelompok yang diam tersebut.” Ikrimah berkata, “Kelompok ini tidak dibinasakan karena ia membenci dan tidak menyukai apa yang dilakukan oleh mereka (kelompok yang melanggar perintah Allah), lalu kelompok (yang diam) tersebut berkata, (لَم تَعِظُونَ) “Kenapa kalian beri peringatan?” Imam al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia akhirnya lebih memilih pendapat Ikrimah ini dan kagum kepadanya.
Tafsir dan Penjelasan.
Tanyakanlah wahai Muhammad kepada umat Yahudi di masamu tentang kisah para pendahulu mereka yang menentang perintah Allah sehingga mendapatkan adzab atas perbuatan mereka dan berbagai muslihat mereka untuk menyalahi perintah Allah SWT.
Pertanyaan di sini adalah dalam bentuk teguran keras, sekaligus untuk menjelaskan bahwa kekafiran orang-orang yang semasa dengan Nabi saw. bukanlah sesuatu yangbaru, melainkan sesuatu yang sudah turun temurun karena para pendahulu mereka juga pernah melakukan dosa yang besar dan menentang perintah Allah SWT. Berilah peringatan kepada mereka untuk tidak menentangmu agar tidak turun kepada mereka adzab seperti yang diturunkan kepada para pendahulu mereka.
Tanyakan kepada mereka tentang masyarakat pesisir yang terletak di tepi laut antara daerah Madyan dan Thur ketika mereka melanggar hukum-hukum Allah dan tidak mengindahkan pada hari Sabtu yang mereka agungkan, yaitu untuk tidak bekerja dan mengkhususkannya untuk beribadah, namun ternyata mereka justru melanggar perintah Allah, lalu mereka menangkap ikan di hari itu padahal mereka sudah dilarang untuk melakukannya.
Ikan-ikan banyak bermunculan di permukaan air tepat di hari mereka seharusnya mengagungkan-Nya, yaitu pada hari Sabtu yang mereka tidak perlu bersusah payah kalau ingin menangkapnya. Sementara selain Sabtu, ikan-ikan itu tidak bermunculan dan tidak keluar seperti halnya di hari Sabtu.
Akhirnya, mereka mencari cara untuk bisa menangkapnya dengan cara membuat kolamkolam, sehingga kalau terjadi air pasang ikan-ikan itu akan berdatangan. Ketika terjadi air surut, ikan-ikan tersebut tetap tinggal di kolam-kolam tersebut. Lalu pada hari Ahad mereka mengambil ikan-ikan tersebut.
Seperti itulah-dengan memunculkan ikan-ikan pada hari Sabtu yang diharamkan bagi mereka untuk menangkapnya, kemudian pada hari selain Sabtu ikan-ikan tersebut menghilang-Kami menguji orang-orang yang terdahulu dan semasa denganmu [wahai Muhammad), dan Kami berinteraksi dengan mereka layaknya seseorang yang menguji agar masing-masing mereka dibalas sesuai dengan amalannya. Ujian itu diberikan karena kefasiqan mereka yang tidak pernah berakhir dan keengganan mereka untuk menaati Allah SWT karena di antara hukum-hukum Allah adalah bahwa siapa yang menaati-Nya akan dimudahkan baginya segala urusan di dunia dan diberi pahala di akhirat. Siapa yang mendurhakai-Nya akan diuji dengan berbagai bentuk cobaan dan musibah.
Ketika maksiat muncul di kalangan mereka, terbagilah masyarakat pesisir tersebut menjadi tiga kelompok: kelompok yang mendukung kelompok yang menentang dan mengingatkan, serta kelompok yang netral yang merasa tidak ada faedah untuk mengingatkan pelaku maksiat. Bahkan, mereka menyayangkan sikap kelompok yang mencoba untuk mengingatkan dengan mengatakan, “Untuk apa kalian mengingatkan kaum yang telah Allah tetapkan bagi mereka untuk dihancurkan dan dimusnahkan, dan kalian tahu bahwa Allah akan membinasakan dan menyiksa mereka di dunia dan akhirat.”
Kelompok yang mengingatkan menjawab, “Kami mengingatkan mereka untuk melepaskan diri kami dari dosa diam ketika melihat kemungkaran, dan untuk memberi alasan kepada Tuhan kami bahwa kami telah menunaikan kewajiban kami dengan mengingkari perbuatan mereka. Kami tidak akan pernah putus asa menunggu mereka menjadi baik dan kembali pada jalanyangbenar. Semoga dengan pengingkaran ini, mereka menjadi takut mengerjakan hal itu dan meninggalkannya lalu kembali dan bertobat kepada Allah SWT. fika mereka bertobat, Allah pasti akan menerima tobat mereka dan mengasihi mereka.”
Ketika orang-orang yang melakukan kesalahan itu enggan menerima nasihat, Kami selamatkan orang-orang yang telah melarang perbuatan buruk itu, iaitu kelompok yang mengingatkan dan kelompok yang mencela perbuatan tersebut. Namun kelompok yang pertama lebih tegas karena mereka mengingkarinya dengan perkataan dan perbuatan. Oleh karena itu, Al-Qur’an menegaskan bahwa orang-orang yang mencegah itu akhirnya selamat. Sementara kelompok yang kedua (yang mencela) hanya mengingkari dengan hati mereka saja. Oleh karena itu, Al-Qur’an tidak menyinggung sama sekali tentang kelompok yang hanya diam ini karena mereka memang tidak berhak untuk dipuji dan tidak pula melakukan sebuah dosa untuk dicela.
Kemudian, Kami siksa orang-orang yang zalim yang melakukan kemaksiatan itu dengan siksaan yang berat. Siksaan tersebut terjadi ketika mereka membangkang dan enggan untuk meninggalkan sesuatu yang telah dilarang pada mereka dan mereka juga tidak mau mendengarkan nasihat orang-orang yang mengingatkan mereka. Akhirnya, mereka dijadikan Allah sebagai kera-kera yang hina dan terasing dari manusia. Ini baru siksaan di dunia. Tentunya siksaan di akhirat nanti lebih keras dan lebih kekal.
Mayoritas ulama mengatakan bahwa mereka memang benar-benar diubah menjadi kera karena telah menentang perintah Allah dan selalu saja berbuat durhaka, bukan hanya karena mereka menangkap ikan pada hari yang telah dilarang. Pertanyaannya sekarang, apakah kera-kera yang ada saat ini merupakan keturunan mereka atau mereka akhirnya punah dan tidak mempunyai keturunan? Tidak ada jawaban yang tegas untuk hal ini di dalam ayat di atas.
Imam Mujahid mengatakan, “Mereka menjadi kera dalam hal perangai yang jahat, suka berbuat kerusakan dan keburukan, disebabkan dosa-dosa mereka selama itu.” Mengenai kelompok yang hanya diam, pendapat yang kuat adalah mereka selamat. Karena Ibnu Abbas sendiri akhirnya lebih menguatkan pendapat Ikrimah yang mengatakan mereka selamat. Ibnu Katsir juga mendukung pendapat ini. Ia berkata, “Pendapat ini lebih utama daripada pendapat yang mengatakan bahwa mereka termasuk orang yang binasa, karena kondisi mereka telah jelas setelah peristiwa itu.”
Fiqih Kehidupan atau Hukum-Hukum.
Ayat-ayat tentang kisah ini menjelaskan beberapa hal. Pertama, penyampaian kisah ini merupakan bukti kejujuran Nabi saw karena Allah telah memberitahukan hal-hal tersebut tanpa melalui proses belajar sama sekali. Orang-orang Bani Israil itu pernah mengatakan bahwa Orang Yahudi dan Nasrani berkata,
“Kami adalah anak-anak AIIah dan kekasih-kekasih- Nya.” (al-Maa’idah: 18).
Karena kami adalah anak cucu dari kekasih Allah iaitu Ibrahim, anak cucu dari Israil (iaitu Nabi Ya’qub), anak cucu dari Musa yang merupakan Kalimullah, dan anak cucu dari Uzair. Jadi kami adalah anak cucu mereka.” Dengan demikian, Allah berfirman kepada Nabi-Nya, “Tanyakan kepada mereka wahai Muhammad tentang kampung tersebut, bukankah Aku telah menyiksa mereka karena dosa-dosa mereka?”
Kedua, penghapusan berbagai akal licik yang berdampak pada berhentinya penerapan syari’at Allah, hancurnya prinsip-prinsip dasar syari’at, dilanggarnya hukum-hukum Allah, dan ditentangnya perintah-perintah-Nya.
Ketiga,ini adalah dalil tentang sadd dzarai’ (menutup celah-celah dilakukannya sesuatu yang dilarang, pent.) Artinya semua jalan yang berdampak pada dilakukannya sesuatu yang dilarang adalah haram secara syari’at. Jadi segala sesuatu yang membawa kepada yang haram hukumnya juga haram.
Keempat, diwajibkannya amar ma’ruf dan nahi mungkar serta menjauhi orang-orang yang suka berbuat kerusakan. Orang-orang yang bergaul dengan mereka berarti sama dengan mereka.
Kelima, firman Allah, (كَذَٰلِكَ نَبۡلُوهُم) menunjukkan bahwa siapa yang menaati Allah, Allah akan meringankan bebannya di dunia dan di akhirat. Siapa yang mendurhakai-Nya, Allah akan mengujinya dengan berbagai bentuk cobaan dan ujian. Ini artinya maksiat itu adalah sebab turunnya kesengsaraan.
Keenam, kalangan Ahlus Sunnah menjadikan ayat ini sebagai argumen bahwa tidak wajib terhadap Allah untuk ri’ayat ash-shalah wa al-ashlah (memerhatikan sesuatu yang baik dan yang paling baik), baik dalam masalah agama maupun dalam masalah dunia, karena Allah SWT mengetahui bahwa memperbanyak kemunculan ikan di hari Sabtu akan mendorong mereka untuk berbuat maksiat dan berlaku ingkar. Seandainya Allah wajib memerhatikan hal-hal yang bersifat baik dan paling baik, tentu Allah wajib untuk tidak memperbanyak kemunculan ikan di hari itu guna menjaga mereka dari berlaku ingkar dan berbuat maksiat.
Ketujuh, kelompok yang mendurhakai perintah-perintah Allah dan tidak berhenti mengerjakan kemaksiatan pasti binasa. Sementara itu, kelompok yang mengingkari kemaksiatan serta mengingatkan orang-orang yang berlaku maksiat tentu akan selamat. Adapun kelompok yang diam saja, maka pendapat yang kuat mengatakan ia termasuk orang-orang yang selamat karena ia telah mengingkari kemaksiatan itu dengan hati dan ia sudah putus asa mengharapkan kesadaran orang-orang yang membangkang itu.
Kedelapan, terkadang adzab tidak datang secara tiba-tiba, melainkan secara berangsur-angsur. Pertama kali Allah mengadzab Bani Israil dengan kekalahan mereka dari bangsa Babilonia, kemudian dengan kaum Nasrani yang berhasil merampas kekuasaan kaum Bani Israil. Di antara bentuk adzab di dunia adalah diubahnya mereka menjadi kera dan babi disebabkan kemaksiatan yang tidak henti-henti. Kemudian, kelak akan tibalah siksaan akhirat.
Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat kita ambil daripada kuliah ini ialah:
Semoga kita mencari fakta yang benar dan tidak menyeleweng fakta yang Allah turunkan melalui al-Quran. Aamiin!!!…
Nota:
Nota ini tidak lengkap, pencatit hanya mampu mencatit semampunya. Pembaca mestilah membuat kajian lanjut bagi menambah fakta-fakta. Jika ada yang salah, itu adalah kelemahan saya sendiri. Segala kebenaran adalah daripada Allah semata-mata.
Pencatat & Pengkaji:
Dr. Ismail Abdullah, Teras Jernang, 13-03-2023 (Isnin) dan 14-3-2023 (Selasa).
Rujukan:
[1] Tafsir Al-Munir Jilid 5 – Juzuk 9 & 10 (Bahasa Indonesia), dari mukasurat 142 hingga 148.