Ayat 154 beserta terjemahannya.
وَلَمَّا سَكَتَ عَن مُّوسَى ٱلۡغَضَبُ أَخَذَ ٱلۡأَلۡوَاحَۖ وَفِي نُسۡخَتِهَا هُدٗى وَرَحۡمَةٞ لِّلَّذِينَ هُمۡ لِرَبِّهِمۡ يَرۡهَبُونَ
Dan apabila kemarahan Nabi Musa itu reda, dia pun mengambil Lauh-lauh Taurat itu yang dalam naskhahnya terkandung petunjuk dan rahmat, bagi orang-orang yang bersungguh-sungguh takut kepada Tuhan mereka (daripada melanggar perintahNya). (Al-A’raaf (7) : 154).
Nota:
Terjemahan di atas diambil daripada, https://www.surah.my/.
Tafsiran yang disampaikan oleh Dr. Abdul Halim El-Muhammady (03-03-2023, Jumaat).
Mukkadimah.
Pada pagi 3-3-2023 (Jumaat), Ustaz mentadabbur ayat 154 dari Surah Al-A’raaf yang bertajuk, “Akhir kisah pembuatan patung anak sapi sebagai tuhan.”
Setelah Allah menjelaskan kondisi Musa a.s. ketika ia marah dan terbaginya kaumnya menjadi dua bagian, ada yang berkeras untuk menyembah patung anak sapi dan ada yang bertaubat kepada Allah. Dalam ayat ini, Allah menjelaskan kondisi Musa ketika marahnya mulai mereda, jiwanya tenang, dan hatinya lapang. Meskipun Musa adalah seorang yang cepat emosi dan keras, ia juga seorang yang cepat tenang ketika kebenaran sudah kembali ke posisinya semula dan orang yang zalim telah menyesali kezalimannya. Inilah fasa keempat dan terakhir dari kisah penyembahan patung anak sapi.
Cerakinan Ayat.
I’raab.
(وَلَمَّا سَكَتَ) kata lammaa adalah zharaf zaman yang perlu kepada jawab. Jawab-nya adalah (أَخَذَ ٱلۡأَلۡوَاحَۖ) yang sekaligus menjadi ‘amil. (وَفِي نُسۡخَتِهَا هُدٗى) kalimat ini adalah mubtqda’ dan khabar dalam posisi nashab sebagai haal dari kata (ٱلۡأَلۡوَاحَۖ). (أَخَذَ) masuknya huruf lam kepada maf’ul karena ia lebih dahulu dari fi’il-nya.
Balaaghah.
(وَلَمَّا سَكَتَ عَن مُّوسَى ٱلۡغَضَبُ) kalimat ini adalah isti’aarah makniyyah ketika (ٱلۡغَضَبُ) diserupakan dengan seorang manusia yang sedang emosi, bersuara tinggi, dan ingin balas dendam. Lalu musyabbah bih-nya dihilangkan. Setelah itu, ditampakkan satu dari beberapa kelazimannya (maksudnya satu dari beberapa sifat manusia, pent.), iaitu (سَكَتَ) yang artinya tidak bersuara. Ini merupakan penyerupaan (tasybih) yang sangat indah.
Mufradaat Lughawiyaah.
(سَكَتَ) tenang. Diam secara bahasa berarti tidak berbicara. Penisbahan “diam” kepada “marah” adalah dalam pengertian digambarkannya “marah” sebagai sosok yang sedang mengamuk, memerintah, dan melarang dengan tidak lazim. Zamakhsyari berkata, “lni sebuah perumpamaan, seolah-olah kemarahan telah menggoda Musa untuk melakukan apa yang ia lakukan, lalu membisikkan padanya, ‘Katakan pada kaummu ini dan ini, lemparkan lauh-lauh itu, dan tarik rambut saudaramu.’ Namun, kemudian ia tidak berbicara lagi dan tidak menggoda Musa lagi.” (أَخَذَ ٱلۡأَلۡوَاحَۖ) lauh yang telah ia lemparkan. (وَفِي نُسۡخَتِهَا) apa yang tertulis di dalamnya. (هُدٗى) terdapat penjelas mana yang benar dan mana yang sesat. (وَرَحۡمَةٞ) rahmat untuk menunjuki manusia pada kebaikan dan kedamaian. (لِرَبِّهِمۡ يَرۡهَبُونَ) mereka takut kepada Tuhannya. Kata (الرَّهْبَة) berarti rasa takut yang teramat sangat.
Tafsir dan Penjelasan.
Ketika kemarahan Musa terhadap kaumnya sudah reda dan jiwanya pun tenang melihat taubat sebagian besar dari mereka, ia kemudian mengambil lauh-lauh yang bertuliskan Taurat dan yang sebelumnya dilemparkannya karena begitu marah melihat kaumnya menyembah patung anak sapi-marah karena Allah dan demi-Nya, lalu ia mendapati di dalam lauh-lauh itu petunjuk bagi orang-orang yang kebingungan mencari hidayah dan rahmat bagi pelaku maksiat yang bertaubat dan takut kepada Allah karena dosa-dosa yang mereka lakukan dan takut pada adzab dan penghisaban-Nya. Ketakutan di sini juga bermakna ketundukan sehingga fi’il yang digunakan di-muta’addi-kan dengan huruf lam.
Ibnu Abbas menyebutkan bahwa ketika lauh-lauh itu pecah berserakan, Musa berpuasa selama empat puluh hari sehingga lauh-lauh itu dikembalikan lagi padanya menjadi dua lauh dan tidak ada satu pun yang hilang. Al-Qusyairi mengatakan, (وَفِي نُسۡخَتِهَا هُدٗى) adalah di antara ayat-ayat yang terhapus dari lauh-lauh yang pecah itu dan yang dikembalikan lagi ke lauh-lauh yang baru adalah ayat-ayat yang berisi petunjuk dan rahmat.” Sementara itu Atha mengatakan, “Maksudnya adalah yang tersisa dari lauh-lauh tersebut, karena tidak ada yang tersisa kecuali sepertujuh saja, sementara enam per tujuhnya sudah hilang. Namun demikian, tidak ada yang hilang dari ayat-ayat tentang hukum sedikit pun.”
Fiqih Kehidupan atau Hukum-Hukum.
Sifat santun adalah puncak semua akhlak. Ketika jiwa Musa telah tenang dan ia kembali menjadi santun, ia mulai mempelajari lauh-lauh yang berisi Taurat tersebut. Di dalamnya, ia mendapati penjelasan tentang mana yang benar dan mana yang sesat, mana hidayah dan mana penyimpangan, serta mana rahmat dan mana adzab, dengan adanya penjelasan jalan yang lurus dan baik bagi orang yang takut terhadap Allah dan adzab-Nya.
Sesuai dengan hukum-hukum yang ada di dalamnya, Musa mulai menunjuki kaumnya pada substansinya dan mengajak mereka untuk mengamalkannya karena ia adalah syari’at dari Allah untuk Bani Israil. Inilah fasa ketenangan dalam kehidupan Musa menurut hemat kami, setelah sebelumnya ia melewati berbagai pergolakan dan peristiwa- peristiwa yang sangat memengaruhi risalah yang dibawanya, bahkan, ia hampir kehilangan iman kaumnya untuk selamanya kalau ia tidak segera kembali merujuk kepada nasihat dan petunjuk yang terdapat di dalam Taurat.
Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat kita ambil daripada kuliah ini ialah:
Semoga kita mencari fakta yang benar dan tidak menyeleweng fakta yang Allah turunkan melalui al-Quran. Aamiin!!!…
Nota:
Nota ini tidak lengkap, pencatit hanya mampu mencatit semampunya. Pembaca mestilah membuat kajian lanjut bagi menambah fakta-fakta. Jika ada yang salah, itu adalah kelemahan saya sendiri. Segala kebenaran adalah daripada Allah semata-mata.
Pencatat & Pengkaji:
Dr. Ismail Abdullah, Teras Jernang, 03-03-2023 (Jumaat).
Rujukan:
[1] Tafsir Al-Munir Jilid 5 – Juzuk 9 & 10 (Bahasa Indonesia), dari mukasurat 117 hingga 119.
**************************************