MEMBACA NEXUS ABIM & MUHAMMADIYAH DARI SOSOK SIDDIQ FADZIL

Oleh Sonny Zulhuda (Ketua PCIM Malaysia)

Atas nama Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Malaysia, minggu ini saya diundang oleh sahabat-sahabat di Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM) untuk hadir mewakili Persyarikatan Muhammadiyah dalam menyampaikan testimoni atas wafatnya dua tokoh pergerakan ABIM dan WADAH Malaysia, yaitu Almarhum Ustadz Dato’ Dr. Siddiq Fadzil (“USF”) dan Almarhum Cikgu Abdul Halim Ismail.

Majelis virtual yang dihadiri lebih dari 250 orang aktivis WADAH, ABIM dan PKPIM itu turut dihadiri oleh perwakilan dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Dr. Muhammad Noer.

Seperti disampaikan ketua WADAH, ormas para alumni ABIM, Dato’ Hj Ahmad Azam Ab Rahman, kedua tokoh yang meninggal ini sama pentingnya bagi pergerakan. Yang berbeda adalah peran dan posisinya. Jika USF ada di front terdepan sebagai presiden ABIM di tahun 70-an meneruskan tongkat estafet kepemimpinan Anwar Ibrahim, maka Cikgu Halim sering memosisikan dirinya di belakang layar, memastikan urusan administrasi dan logistik pergerakan berjalan lancar. Hebat, sebuah kebersamaan strategis yang berlanjut hingga penghujung usia mereka.

Dalam testimoni saya, saya memang lebih banyak menyebutkan tentang USF tanpa mengurangi penghormatan saya terhadap Alm Cikgu Abdul Halim Ismail.

Saya sendiri mengenal USF pertama kali di tahun 1999 ketika saya sebagai ketua International Students’ Society (ISS) IIUM mengundang beliau ke kampus IIUM Gombak untuk mendiskusikan bukunya “Minda Melayu Baru” yang terbit pada tahun 1992. Buku itu sangat populer di antara teman-teman pergerakan mahasiswa saat itu, terutama kawan-kawan saya di Persatuan Kebangsaan Pelajar Islam Malaysia (PKPIM) kala itu. USF menyampaikan paparannya secara lugas, sejuk dan berjenaka.

Sejak itulah saya memiliki kekaguman terhadap ilmu, wawasan dan kepribadian beliau. Saya merasa turut beruntung mengenal dan memiliki tokoh Melayu seperti beliau, apalagi beliau sering sekali berkomentar terhadap sejarah dan perkembangan sosial politik di Indonesia, dan kadang-kadang dengan berbahasa Jawa pula!

Ustadz Siddiq Fadzil adalah pemimpin multi talenta. Beliau dikenal sebagai aktivis mahasiswa, aktivis pergerakan, anggota akademik, profesor berkemajuan, orator terampil dan narator jenaka, beliau juga adalah pendidik, murabbi, pendakwah dan budayawan. Tak ayal, saya menyebutnya sebagai “pemimpin seribu wajah”.

Interaksi USF dengan Muhammadiyah yang saya fokuskan bermula pada pertemuan Buya Prof. Dr. Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah dengan USF saat kami berkunjung ke markas ABIM di Bangi, 1 November 2015.

Saat itu, Prof Haedar baru saja mendapatkan amanat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah meneruskan kepemimpinan Prof. Dr. Din Syamsuddin. Pak Haedar menjadikan Malaysia sebagai negara luar pertama yang beliau kunjungi sebagai Ketua Umum organisasi massa modern terbesar Indonesia itu, yang menunjukkan betapa besarnya perhatian beliau untuk merajut hubungan dengan mitra-mitra dakwah dan pergerakan Islam di rantau ini, terutama di Malaysia.

Dalam pertemuan itu, Ustadz Siddiq Fadzil, bersama tokoh lain seperti Dato Dr. Redzuan Othman, Presiden ABIM Sdr. Muhammad Raimi dan juga Cikgu Abdul Halim Ismail berdiskusi serius namun santai terkait berbagai prospek dakwah dan kerjasama antara kedua institusi dalam konteks pergerakan dakwah regional. Jelas sekali interaksi USF dan Prof Haedar Nashir begitu hangat meskipun mungkin itu kali pertama mereka bertemu secara dekat dan rapat.

Dari situ saya bisa katakan, ini pertanda bahwa bahasa dakwah adalah bahasa universal. Ia adalah “lingua franca” lintas batas dan lintas dimensi. Siapapun dan dari manapun anda, jika anda bicara dakwah, mari kita duduk satu meja dan niscaya banyak yang bisa kita kerjakan bersama.

Itulah sebabnya, saya meyakinkan sahabat-sahabat saya aktivis dakwah di Malaysia, bahwa Muhammadiyah senantiasa siap dan terbuka untuk bekerjasama dalam pergerakan dakwah dan pendidikan melayani umat dan masyarakat, menjadi berkah dan rahmat bagi seru sekalian alam. Inilah refleksi dari internasionalisasi Muhammadiyah itu sendiri.

Saya juga sampaikan bahwa ketokohan USF sangat krusial dalam konteks ketahanan hidup pergerakan ABIM di Malaysia. Pada tahun 70-80-an itu, USF tidak hanya memimpin, namun beliau juga menjadi kubu pertahanan dan pondasi jangkar yang mengokohkan tapak berdirinya organisasi sehingga tidak mudah terombang-ambing oleh gelora dan dinamika politik sosial di Malaysia saat itu.

Dalam konteks ini, peran USF di ABIM yang saat itu baru saja melepaskan Datuk Seri Anwar Ibrahim memasuki kancah politik nasional, tidak ubahnya seperti peran Buya Prof. Dr. Syafii Maarif yang tegas menjaga kubu Muhammadiyah selepas merelakan kader dan pemimpin sebelumnya yaitu Prof Dr. Amien Rais memasuki dunia politik nasional.

Peran beliau-beliau inilah yang nyata menjadi kunci survival organisasi dakwah seperti ABIM dan Muhammadiyah sehingga tetap bisa menjalankan roda dakwah sambil mendorong kadernya berkontribusi aktif dalam panggung politik nasional.

Itulah ketokohan Ustadz Siddiq Fadzil yang saya saksikan. Dalam bicara, beliau menggerakkan jiwa raga jamaahnya. Dan dalam diam beliau mengamankan hati nurani kita semua. Kita memerlukan banyak tokoh seperti USF yang memimpin dengan ilmu, hikmah dan kebijaksanaan.

Kini kita semua merasakan kehilangan itu. Benarlah apa yang orang katakan, bahwa kesadaran akan nilai sesuatu atau seseorang itu baru terasa kalau kita kehilangan sesuatu/orang itu. Kami semua merindukan ketokohan sejuk nan cerdas dari seorang Ustadz Siddiq Fadzil.

Namun kita sadar, bahwa wafatnya beliau juga menjadi pengingat bagi kita bahwa gerakan dakwah itu bukan gerakan individu yang berhenti dengan wafatnya sang tokoh dakwah. Tidak untuk Muhammadiyah, dan saya yakin juga tidak untuk Ormas yang teruji waktu seperti ABIM.

Tidak dinamakan pergerakan jika dakwah itu bersifat statis. Roda dakwah akan dan harus terus bergerak bersama putaran waktu. Patah tumbuh hilang berganti, mati satu tumbuh seribu.

Semoga terus bermunculan sosok-sosok penerus USF dan Cikgu Halim di kalangan sahabat-sahabat saya di Malaysia ini. Semoga Allah merahmati Malaysia, ABIM, WADAH, PKPIM dan seluruh bangsa Malaysia dan para pemimpinnya.

Tulisan ini disalin dari laman Suara Muhammadiyah, 5 September 2021.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *